Tak selalu
Hidup pada akhirnya tidak selalu sesuai dengan idealis kita, begitulah teman dan kebanyakan memang begitu.
Minggu siang ini Qodarullaah aku bertemu dengan teman satu kampus dan satu perjuangan dulu di sebuah masjid karena ada pengajian para akhwat di sana. Sebuah pertemuan yang mengharukan karena sudah 3 tahun kami tidak bersua.
Ada yang berbeda dari temanku ini, aku menatapnya nanar bertanya-tanya di manakah badannya yang berisi dulu? Kenapa dia kurus dan pucat sekali? Aku merangkulnya erat, aku rindu sekali padamu saudariku, lalu apa yang telah terjadi padamu?
Setelah selesai pengajian, kami duduk di pelataran masjid, menunggu dia untuk bercerita, dan sudah kuduga dia memang ingin bercerita sesuatu padaku. Dengan wajah yang murung dan hati penuh kegundahan dia bercerita bagaimana tekanan yang dia dapatkan ketika hingga saat ini dia belum mendapatkan pekerjaan yang tetap ditambah tekanan belum menemukan pendamping hidup yang pas di hatinya, sekali lagi yang pas di hatinya. Rupanya dia menjadi sangat kurus karena tekanan yang menumpuk di pundaknya.
Kami diam sejenak memandang langit biru yang terhampar sejauh pandangan mata, dia tiba-tiba bertanya masalah cinta, apakah kita hanya bisa mencintai seseorang hanya sekali seumur hidup ukhti? Aku menatapnya sejenak, kulihat dia menghembuskan nafas panjang, aku tersenyum dan merangkulnya, tidak teman kita bisa mencintai siapa saja yang Allah kehendaki tidak hanya seseorang.
Dia merunduk sedikit tersenyum, aku terus menatapnya mencoba menembus kedalaman hatinya yang sedang terluka. Maka sekali lagi aku sadari bahwa hidup ini tidak selalu sesuai dengan idealis kita, dia menimpa siapa saja yang Allah kehendaki, datang tiba-tiba tanpa terduga, tidak peduli apakah hati kita siap atau tidak, maka pada saatnya harus terjadi maka terjadilah takdir itu.
Ah saudariku.....bukankah hati itu berada di antara jari jemari Allah maka mintalah padaNya hati yang kuat, hati yang tidak gampang terlena dan lemah karena sebuah luka, mintalah pada Allah saudariku...Allah akan mengabulkan percayalah...
Jam hampir menunjukkan masuk waktu sholat ‘ashar ketika dia pamit untuk pulang duluan, aku masih duduk di pelataran masjid dan terus menatap tubuh yang sangat kurus itu hingga hilang dari pandangan mataku.
Adzan pun berkumandang, begitu syahdu, mataku sudah basah, aku tiba-tiba rindu pada sosok ibunda Khodijah ra, rindu...rindu...sekali....