Apakah kita terjangkit penyakit sombong?
dari http://achmadfaisol.blogspot.com
Sudah sering diceritakan kepada kita bahwa banyak orang yang pada awalnya shaleh, namun dalam perjalanan waktu bertolak belakang keadaannya, bahkan meninggal dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Berikut ini salah satu cerita yang barangkali sudah tidak kita acuhkan. Cerita ini penulis sadur dari kitab “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”. Inti cerita tetap sama meskipun penulis menyajikannya dengan cara berbeda. Hal ini untuk memberikan kesan yang kuat dalam diri kita sehingga bisa kita ambil pelajaran darinya.
Alkisah, pada zaman Bani Israil terdapat seorang ahli ibadah nan alim bernama Barshisha. Karena ia begitu khusyu‘ dalam beribadah, maka Allah mengaruniakan kelebihan (karâmah) padanya. Salah satunya bisa mengobati berbagai penyakit.
Sebagaimana sumpahnya untuk menggelincirkan semua anak cucu Nabi Adam as., Iblis tidak suka dengan keadaan Barshisha. Iblis berniat mengajaknya bersama-sama di neraka. Diadakanlah rapat kerja internasional dengan mengundang semua setan pengikutnya. Iblis berkata,
“Wahai rakyatku sekalian. Ini ada orang yang begitu taat beribadah, namanya Barshisha. Karena ketekunannya dalam beribadah, dia dianugerahi berbagai kelebihan oleh Allah. Salah satunya bisa menyembuhkan orang sakit. Siapa di antara kalian yang sanggup menggoda dan menyesatkan dia?”
Suasana menjadi hening. Beberapa setan sibuk bercakap-cakap pelan untuk membicarakan apakah mereka mampu atau tidak. Tak lama kemudian, salah satu setan berdiri dan mengangkat tangannya sambil berkata,
“Tuanku Iblis yang hamba junjung tinggi.”
“Ya, ‘Ifrit. Ada apa?” sahut Iblis.
“Hamba sanggup menjadikan Barshisha sebagai sahabat kita selama-lamanya di neraka nanti.”
“Oh, begitu. Kalau kamu gagal, apa konsekuensinya?”
“Jika hamba gagal, hamba rela dikucilkan dari pergaulan para setan yang terhormat.”
“Hemmm… Baiklah, ‘Ifrit,” ucap Iblis.
“Aku tunjuk engkau untuk mengemban misi ini. Terserah apa pun caramu, aku hanya mau tahu engkau harus berhasil,” terang Iblis tentang keinginannya.
Barshisha tinggal di sebuah daerah yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang hidup bahagia bersama sang permaisuri. Mereka mempunyai seorang putri berparas cantik jelita, bak purnama di kala malam, sebening embun pagi membasahi daun-daun.
Suatu hari, pada saat sang putri sedang bercengkrama dan bercanda tawa dengan kedua orang tua beserta sanak-famili yang lain, ‘Ifrit membuatnya jadi gila seketika. Keluarga, pembesar dan semua pengawal istana kalang-kabut dibuatnya. Para tabib didatangkan, namun tak satu pun bisa menyembuhkan buah hati sang ratu.
Resah, gelisah dan awan kesedihan memayungi kerajaan yang semula secerah pagi di musim panas. Langit seakan mendung sembab. Ceracau burung yang biasanya hinggap di atas dahan meriuhkan suasana, seolah hilang dicuri angin. Bagi permaisuri, hari demi hari dilalui dengan air mata jatuh berkejar-kejaran membasahi pakaian sutra nan lembut, seperti gerimis di musim hujan. Sampai beberapa hari, keadaan sang putri tak kunjung membaik.
*******#######*******
Suasana kerajaan terlihat lengang dalam kesibukan. Sinar sang surya di pagi hari yang begitu indah, terasa redup. Warna merah yang terpancar dari rona mentari yang tampak elok bestari, tak kuasa mengusir kegalauan. Pagi itu semua orang tampak pucat pasi, seperti cahaya rembulan terpantul dari air di parit yang kotor. Mereka hanya bercakap-cakap seperlunya saja. Angin berhembus membawa duka. Udara mengalir laksana tebasan pedang samurai yang tersusun dari partikel-partikel udara, menyayat semua orang—terutama sang raja dan permaisuri. Hampa, perasaan itu pun menghampiri mereka. Kondisi sebaliknya terjadi pada ‘Ifrit. Baginya, alam semesta seolah bersatu padu mewujudkan keinginannya. Dia tertawa kegirangan, terbahak-bahak, seolah hendak membelah angkasa, tanpa sedikit pun berbelas kasih. Dia tersenyum di atas penderitaan seluruh isi istana.
Merasa panah pertamanya berhasil, ‘Ifrit lalu mengubah wujudnya seperti manusia untuk menemui sang raja di istana yang sedang dipenuhi hawa kegalauan. Di depan sang raja ‘Ifrit mengucapkan salam,
“Hormat hamba untuk Baginda Raja dan Permaisuri.”
“Baiklah, aku terima hormatmu. Siapakah kamu? Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya Raja.
“Hamba rakyat Baginda. Nama hamba ‘Ifrit. Maksud kedatangan hamba, hamba ingin membantu menyembuhkan sang putri.”
“Apa kamu sanggup, hai ‘Ifrit? Sudah banyak tabib didatangkan, namun tak satu pun berhasil menyembuhkan putriku.”
“Beribu ampun hamba haturkan. Bukan hamba yang akan menyembuhkan sang putri. Hamba ingin membantu saja.”
“Apa maksudmu...?” tanya sang raja heran.
“Baginda Raja yang hamba junjung tinggi. Bila Baginda Raja dan Permaisuri ingin kesembuhan sang putri, bawalah ke seseorang yang sangat alim dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Orang itu bernama Barshisha.”
Segera setelah mendapatkan informasi yang cukup, berangkatlah rombongan kerajaan ke rumah Barshisha. Setelah diobati olehnya, ternyata sang putri pun sembuh. Semua orang bergembira ria. Selanjutnya mereka berkemas-kemas, kemudian kembali ke istana.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Ketika sampai di istana, penyakit sang putri kambuh lagi. Sungguh kebahagiaan yang begitu cepat, secepat meluncurnya roket ke angkasa. Berlagak seperti seorang penasihat ulung, ‘Ifrit menyampaikan saran,
“Beribu maaf hamba mohonkan kalau apa yang akan hamba utarakan ini dianggap sebagai sebuah kelancangan.”
“Tidak apa-apa ‘Ifrit, lanjutkan saja,” ucap Baginda.
“Bila Tuanku berkehendak agar sang putri sembuh total, biarkanlah sang putri menginap di kediaman Barshisha. Dengan demikian, perawatan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih intensif. Mohon Paduka berkenan memaafkan kebodohan hamba.”
Mendengar usul yang masuk akal, raja pun menyetujuinya. Sang putri dibawa lagi ke rumah Barshisha. Mula-mula Barshisha berkeberatan jika sang putri rawat inap. Dia seorang yang selalu menjaga diri—seorang ahli ibadah. Namun, luluh juga pendiriannya setelah didesak dan dipaksa oleh raja. Selama beberapa hari merawat sang putri, Barshisha benar-benar menjaga pandangan matanya. Bila tidak sangat penting, dia tetap menundukkan pandangannya karena ia sadar bahwa putri itu bukan mahramnya.
Alkisah, pada zaman Bani Israil terdapat seorang ahli ibadah nan alim bernama Barshisha. Karena ia begitu khusyu‘ dalam beribadah, maka Allah mengaruniakan kelebihan (karâmah) padanya. Salah satunya bisa mengobati berbagai penyakit.
Sebagaimana sumpahnya untuk menggelincirkan semua anak cucu Nabi Adam as., Iblis tidak suka dengan keadaan Barshisha. Iblis berniat mengajaknya bersama-sama di neraka. Diadakanlah rapat kerja internasional dengan mengundang semua setan pengikutnya. Iblis berkata,
“Wahai rakyatku sekalian. Ini ada orang yang begitu taat beribadah, namanya Barshisha. Karena ketekunannya dalam beribadah, dia dianugerahi berbagai kelebihan oleh Allah. Salah satunya bisa menyembuhkan orang sakit. Siapa di antara kalian yang sanggup menggoda dan menyesatkan dia?”
Suasana menjadi hening. Beberapa setan sibuk bercakap-cakap pelan untuk membicarakan apakah mereka mampu atau tidak. Tak lama kemudian, salah satu setan berdiri dan mengangkat tangannya sambil berkata,
“Tuanku Iblis yang hamba junjung tinggi.”
“Ya, ‘Ifrit. Ada apa?” sahut Iblis.
“Hamba sanggup menjadikan Barshisha sebagai sahabat kita selama-lamanya di neraka nanti.”
“Oh, begitu. Kalau kamu gagal, apa konsekuensinya?”
“Jika hamba gagal, hamba rela dikucilkan dari pergaulan para setan yang terhormat.”
“Hemmm… Baiklah, ‘Ifrit,” ucap Iblis.
“Aku tunjuk engkau untuk mengemban misi ini. Terserah apa pun caramu, aku hanya mau tahu engkau harus berhasil,” terang Iblis tentang keinginannya.
Barshisha tinggal di sebuah daerah yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang hidup bahagia bersama sang permaisuri. Mereka mempunyai seorang putri berparas cantik jelita, bak purnama di kala malam, sebening embun pagi membasahi daun-daun.
Suatu hari, pada saat sang putri sedang bercengkrama dan bercanda tawa dengan kedua orang tua beserta sanak-famili yang lain, ‘Ifrit membuatnya jadi gila seketika. Keluarga, pembesar dan semua pengawal istana kalang-kabut dibuatnya. Para tabib didatangkan, namun tak satu pun bisa menyembuhkan buah hati sang ratu.
Resah, gelisah dan awan kesedihan memayungi kerajaan yang semula secerah pagi di musim panas. Langit seakan mendung sembab. Ceracau burung yang biasanya hinggap di atas dahan meriuhkan suasana, seolah hilang dicuri angin. Bagi permaisuri, hari demi hari dilalui dengan air mata jatuh berkejar-kejaran membasahi pakaian sutra nan lembut, seperti gerimis di musim hujan. Sampai beberapa hari, keadaan sang putri tak kunjung membaik.
*******#######*******
Suasana kerajaan terlihat lengang dalam kesibukan. Sinar sang surya di pagi hari yang begitu indah, terasa redup. Warna merah yang terpancar dari rona mentari yang tampak elok bestari, tak kuasa mengusir kegalauan. Pagi itu semua orang tampak pucat pasi, seperti cahaya rembulan terpantul dari air di parit yang kotor. Mereka hanya bercakap-cakap seperlunya saja. Angin berhembus membawa duka. Udara mengalir laksana tebasan pedang samurai yang tersusun dari partikel-partikel udara, menyayat semua orang—terutama sang raja dan permaisuri. Hampa, perasaan itu pun menghampiri mereka. Kondisi sebaliknya terjadi pada ‘Ifrit. Baginya, alam semesta seolah bersatu padu mewujudkan keinginannya. Dia tertawa kegirangan, terbahak-bahak, seolah hendak membelah angkasa, tanpa sedikit pun berbelas kasih. Dia tersenyum di atas penderitaan seluruh isi istana.
Merasa panah pertamanya berhasil, ‘Ifrit lalu mengubah wujudnya seperti manusia untuk menemui sang raja di istana yang sedang dipenuhi hawa kegalauan. Di depan sang raja ‘Ifrit mengucapkan salam,
“Hormat hamba untuk Baginda Raja dan Permaisuri.”
“Baiklah, aku terima hormatmu. Siapakah kamu? Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya Raja.
“Hamba rakyat Baginda. Nama hamba ‘Ifrit. Maksud kedatangan hamba, hamba ingin membantu menyembuhkan sang putri.”
“Apa kamu sanggup, hai ‘Ifrit? Sudah banyak tabib didatangkan, namun tak satu pun berhasil menyembuhkan putriku.”
“Beribu ampun hamba haturkan. Bukan hamba yang akan menyembuhkan sang putri. Hamba ingin membantu saja.”
“Apa maksudmu...?” tanya sang raja heran.
“Baginda Raja yang hamba junjung tinggi. Bila Baginda Raja dan Permaisuri ingin kesembuhan sang putri, bawalah ke seseorang yang sangat alim dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Orang itu bernama Barshisha.”
Segera setelah mendapatkan informasi yang cukup, berangkatlah rombongan kerajaan ke rumah Barshisha. Setelah diobati olehnya, ternyata sang putri pun sembuh. Semua orang bergembira ria. Selanjutnya mereka berkemas-kemas, kemudian kembali ke istana.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Ketika sampai di istana, penyakit sang putri kambuh lagi. Sungguh kebahagiaan yang begitu cepat, secepat meluncurnya roket ke angkasa. Berlagak seperti seorang penasihat ulung, ‘Ifrit menyampaikan saran,
“Beribu maaf hamba mohonkan kalau apa yang akan hamba utarakan ini dianggap sebagai sebuah kelancangan.”
“Tidak apa-apa ‘Ifrit, lanjutkan saja,” ucap Baginda.
“Bila Tuanku berkehendak agar sang putri sembuh total, biarkanlah sang putri menginap di kediaman Barshisha. Dengan demikian, perawatan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih intensif. Mohon Paduka berkenan memaafkan kebodohan hamba.”
Mendengar usul yang masuk akal, raja pun menyetujuinya. Sang putri dibawa lagi ke rumah Barshisha. Mula-mula Barshisha berkeberatan jika sang putri rawat inap. Dia seorang yang selalu menjaga diri—seorang ahli ibadah. Namun, luluh juga pendiriannya setelah didesak dan dipaksa oleh raja. Selama beberapa hari merawat sang putri, Barshisha benar-benar menjaga pandangan matanya. Bila tidak sangat penting, dia tetap menundukkan pandangannya karena ia sadar bahwa putri itu bukan mahramnya.
Bukanlah setan bila kekurangan cara. Setan akan menggoda kita dari semua arah—depan, belakang, samping kiri, kanan, atas dan bawah. Setan juga mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam setiap hembusan nafas. Ia bisa masuk meskipun melalui celah terkecil. Ia selalu menelusup pada gelombang hasrat. Ia tetap akan menggoda dan merayu sampai ia tertawa lepas merayakan kemenangan atas kenistaan manusia. Setan dan syahwat memang tak pandang usia. Sejak manusia pertama sampai akhir zaman kelak, yang bernama setan dan syahwat takkan pernah jera. Hanya perwujudannya saja yang berbeda. Ada yang secara halus alias tak kasat mata, ada juga yang secara nyata—manusia menyembah syahwatnya.
bersambung....:}
bersambung....:}
1 komentar:
lanjutanya mana gan :D
Posting Komentar