Entah kenapa suasana malam ini selepas hujan begitu syahdu. Dalam perjalanan menuju pulang ke rumah, di dalam mobil aku merasakan perjalanan yang sangat syahdu, suasana ini kemudian yang membuatku sadar akan pertanyaanku ke diriku sendiri dahulu, kenapa dulu aku sempat berfikir ingin mengakhiri hidup. Kata syahdu lah mungkin jawabannya. Aku teringat kenapa profil blog ku aku beri keterangan humming mizzle, karena itulah diriku yang tersembunyi yang aku sengaja sembunyikan di balik tulisan-tulisanku, aku sesosok yang syahdu, aku dulu suka menulis puisi, puluhan puisi yang telah aku bakar seolah ikut membakar diriku dan jati diriku. Aku kehilangan itu semua dan perlahan tak mempunyai hasrat menjalani hidup karena tak mengenali diri sendiri lagi.
Malam ini aku mengenang diriku kembali, diri yang sangat aku sukai namun takut untuk aku tampilkan ke siapapun. Hidup ini terlalu keras, sosok syahdu tak kan cocok lagi, masih adakah di dunia ini manusia yang mau mendengarkanmu bercerita dengan bahasa puitis yang syahdu, mungkin sudah tak ada lagi. begitulah pikirku. lalu aku mulai membakar semua kesyaduhan itu dan menjalani hari-hari dengan realistis. Suasana yang syahdu telah membuatku rindu untuk menjadi diriku yang dulu, diri yang syahdu nan membiru, rindu akan menjadi sebuah puisi, cinta akan menjadi sebuah puisi, menunggu akan menjadi sebuah puisi dan harapan akan menjadi sebuah puisi.
Tapi, sosok syahdu begitu mudah terbelenggu, mudah retak, mudah kecewa dan mempercayai hal-hal yang telah kuno meski berharga. Dunia telah berubah, mendorongku untuk mengubur diriku yang dulu kemudian berganti menjadi karang di tengah lautan, tak peduli lagi sesyahdu apa suara ombak menghampiri, tetap tegap berdiri kokoh. Aku sudah tak ingin menyalahkan keadaan atau siapapun lagi termasuk diriku sendiri, namun kadang aku berubah menjadi syahdu sesaat ketika aku menulis, dan ketika aku berhadapan dengan dunia yang nyata, aku telah terlalu takut untuk keluar dari persembunyian bahwa aku masih ingin terlihat syahdu di tengah keramaian, di tengah kezhaliman.
Hanya dengan melihat awan bergerak lembut di bawah langit nan biru aku bisa menjadi sangat syahdu. Melihat burung-burung pulang ke sarangnya di senja hari, melihat sisa air hujan di atas daun, mencium aroma wangi setelah hujan, aku, akan bisa sangat berubah menjadi syahdu. Aku tetiba teringat sangat kuat bahwa inilah yang aku rindukan, sebuah kata yang baru muncul kembali malam ini, kesyaduhan.
Terima kasih diriku yang dulu, mungkin aku tak bisa menjadi engkau lagi. Percayalah, syahdu hanya indah untuk dirasa, namun terlihat menjijikkan bila ditunjukkan. Oldie but Goldie, untuk manusia saat ini engkau sangatlah kuno meski sangat berharga bagiku. Padahal, ketika mencintai dan merindukan dengan syahdu semuanya sangat-sangat indah, sebuah rasa yang tak akan pernah tergambar dengan kata-kata, indah dan sejuk sekali untuk dirasa.
Aku tergelitik dengan diriku sendiri, mungkinkah aku bisa sesyahdu dulu, tapi tidak, aku sungguh sangat takut, menjadi syahdu kemudian dipandang lemah, rapuh dan hanya dengan sekali gertakan aku akan hancur berkeping.
Duhai diri, masihkah kau percaya selain Tuhan dan Ibu yang melahirkanmu, akan ada orang lain yang benar-benar dapat kau percayai untuk sesekali menjadi syahdu di kala senja?
Duhai jiwa, dengarkanlah, aku telah bersahabat dengan keadaanku sekarang, mungkin kenangan bersamamu dulu, diriku yang dulu, diriku yang hanya bersahabat pada buku dan pena, akan menjadi kenangan yang akan tersimpan dalam kotak emas. Ingatan yang begitu syahdu untuk dikenang.
Malam ini begitu syahdu, sesyahdu jiwaku yang rindu menulis surat cinta untuk Tuhanku tentang aku yang menitipkan sebuah nama, semoga nama itu tercatat untukku hingga Jannah.
Read more...