29 September 2010

untukmu, ma...pa...


untukmu ma...
untuk mata yang mulai layu...
untuk rambut yang mulai tipis, selang seling hitam putih tapi lebih banyak yang warna putih...
untuk suara yang mulai serak lemah seperti habis menangis...
untuk tungkai yang tak sekuat dulu, yang kini lebih sering membuatmu lelah, pasrah...
aku rela tertatih-tatih berjalan di atas bumi Allah, melewati hampir separuh waktu
melewati hampir separuh dunia, menginjak duri-duri menyakitkan yang tampak dan tersembunyi
mendaki bukit-bukit terjal yang membuatku aku terpongah, melawan angin kencang yang menyesakkan dada
untukmu ma...untukmu ma....


untukmu pa...
untuk semangat yang tak pernah engkau biarkan padam...
untuk tatapan mata yang menua namun masih bersinar, berbinar bagai bintang paling terang di cakrawala..
untuk tangan yang telah renta namun tangan itu selalu bisa untuk melindungi anak wanitanya...
untuk senyum yang selalu kau sembatkan meski engkau tau bahwa hidup sedang perih, lirih...
untuk punggung yang selalu ikhlas mengangkat beban-beban agar rumah tak pernah kehabisan beras
aku rela mendayung perahu perjuangan, menjemput sejumput impian diseberang sana, melewati berliku pulau, lautan yang sebegitu luas yang ada ombak besar tersembunyi di sana juga ada angin raksasa juga ikut bersembunyi di sana
untukmu pa...untukmu pa...


untukmu ma..untukmu pa...
bahkan aku tak tahu sudah berapa puluh atau ratus air mata ini jatuh...
begitu mudahnya air mata itu jatuh ketika ku mengadu kepada Tuhanku selebar harapan bagi kalian,
hanya untuk kalian ma..pa...
bahkan aku tak tahu sesakit apa menginjak juri, selelah apa mendayung perahu, seberat apa mendaki bukit,
hanya untuk kalian ma..pa...
bahkan aku sanggup menyebrangi pulau demi pulau, berjalan separuh dunia, tak peduli seberapa lagi waktuku tertinggal, aku hanya ingin suatu hari kelak janji itu akan kutunaikan..
aku akan pulang...anakmu akan pulang...pulang membawa sejumput keberhasilan yang kalian harapkan pagi, siang dan malam..
segera ma..pa...aku akan pulang...membawa keberhasilan itu, perahu akan segera aku labuhkan, dan aku akan bercerita tentang indahnya ombak besar di lautan, tentang cantiknya angin besar di tengah lautan, tentang nikmatnya terinjak juri, tentang puasnya bisa mendaki bukit yang terjal
dan tentang bahwa keberhasilan itu telah berhasil ku bawa pulang
untuk kalian ma...pa...

lalu kalian akan berkata, kau memang anak kami, kebanggaan kami, pengganti tulang-tulang kami yang telah renta, rapuh, lemah
maka nak, sudah saatnya untukmu mengembangkan layarmu kembali tapi tidak sendiri...
dan pilihlah nahkoda yang terlatih dan amanah untuk menjalankan layar itu agar terus mengembang
lalu kataku:  nahkoda seperti papakan ma? ^^

Read more...

17 September 2010

Merasa Diri Shaleh?!

http://achmadfaisol.blogspot.com


Mari perhatikan lagi setiap tulisan, komentar dan ucapan kita. Kiranya bila memberi komentar, baik di internet (blog, mass media atau jejaring sosial), radio maupun percakapan dengan orang lain, akan terlihat bahwa kita termasuk orang shaleh yang senantiasa mengerjakan kebaikan. Kalau saja kita mengarsip/merekam setiap komentar yang telah lalu, maka orang lain bahkan diri kita sendiri pun akan berkesimpulan bahwa kita orang shaleh.

Mengapa ketika berkomentar, kita cenderung menunjukkan bahwa diri kita termasuk orang shaleh? Apakah memang demikian keadaannya ataukah hal itu sekadar kamuflase agar orang lain memperhatikan ucapan, tulisan atau komentar kita? Agar orang lain menganggap kita orang alim dengan segudang ilmu?

Mari kita teropong diri sendiri, tak perlu berepot ria menilai tulisan, perilaku serta tutur kata orang lain.

Mungkin kita bertanya, “Salahkah bila kita berkomentar dengan muatan sarat ilmu dan hikmah?”

Tidak ada yang salah dengan segenap tulisan maupun tutur kata yang mengandung ilmu. Semua itu baik dan memperbaiki. Namun, mari kita tanya hati nurani sendiri sesuai konsep istafti qalbak. Apakah komentar yang ada benar-benar kita niati untuk memperbaiki diri sendiri dan orang lain, ataukah hanya untuk menunjukkan bahwa kita berilmu dan berwawasan luas? Jawaban pertanyaan ini tak perlu kita ucapkan dengan lisan, cukup di dalam hati.

Untuk mengetahui keadaan diri, kita harus tahu dulu kriteria shaleh. Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa shaleh menyangkut ritual dan sosial. Terkadang bahkan mungkin kerapkali kita hanya berusaha memenuhi salah satu kriteria, biasanya lebih mudah memenuhi kriteria shaleh ritual yang hanya berhubungan dengan Allah (hablum minallâh).

Kita rajin shalat nafilah, baca Al-Qur’an, dzikir/wirid serta ibadah sunnah lainnya, tapi lidah tak henti-henti membicarakan orang lain (ghibah), melakukan intrik tak sehat dalam “perebutan” tampuk kepemimpinan, mengolok-olok saudara sesama muslim, membuang sampah sembarangan, berkendara seenaknya di jalan dan berbagai tindakan negatif lainnya. Na‘ûdzubillâh min dzâlik

Entah mengapa hal itu kita lakukan. Apa kita belum tahu bahwa segala perbuatan menyakiti orang lain—baik secara langsung maupun tidak—dilarang agama? Apa kita mengira semua ibadah ritual kita diterima, sehingga begitu mudahnya kita menyakiti sesama dengan dalih masih lebih banyak pahala daripada dosa yang kita perbuat? Apa malaikat telah mengirim SMS atau email kepada kita tentang berita tersebut?

Ada hal yang cukup aneh kerap terjadi pula, yaitu kita menceritakan kepada orang lain tentang berbagai macam ibadah yang kita lakukan. Kita berkata kepada teman kita, “Ini bukan pamer atau sombong lho, ya… Tiap hari kalau tahajud, saya pasti menangis tersedu-sedu… Ketika banyak orang keluar rumah bahkan berpesta pora saat malam tahun baru, saya tafakkur di rumah, menangis di hadapan Allah sampai pagi menjelang…”

Apa maksud kita menceritakan semua itu? Apa kita telah melupakan keberadaan penyakit riya’ yang bisa menelusup secara samar? Apa kita lupa bahwa penyakit ini akan menggerogoti pahala kebajikan kita hingga tak bersisa?

Kita tidak pernah tahu pasti keadaan amal ibadah kita di sisi-Nya. Oleh karena itu, rajâ’ dan khawf haruslah seimbang. Rajâ’ adalah pengharapan untuk mendapat pengampunan dan rahmat Allah. Adapun khawf yaitu takut kepada Allah atau kuatir jika dosa-dosa kita tidak diampuni dan ibadah kita ditolak.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri yaitu, “Apa benar kita ingin menjadi orang shaleh? Jika ya, mengapa kita masih melakukan hal yang menyakiti hati orang lain, baik langsung maupun tidak, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi?”

Menjadi shaleh merupakan dambaan setiap insan. Setiap shalat, kita senantiasa memohon kepada Allah agar menjadikan diri kita termasuk golongan orang-orang shaleh. Hal ini tersirat dalam bacaan surah al-Fâtihah yang terjemahnya :

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS al-Fâtihah [1]: 6-7)

Di tafsir Ibnu Katsir dijelaskan maksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.”

و{الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} هم المذكورون في سورة النساء، حيث قال: {وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا * ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيمًا}

Yang dimaksud “orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” yaitu sebagaimana tercantum di surah an-Nisâ’ [4]: 69-70 yang artinya:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.

Dengan demikian, nyatalah bahwa kita sangat berharap menjadi orang shaleh. Minimal 17x sehari—dalam 17 rakaat—kita memohon kepada-Nya, belum lagi bila ditambah shalat-shalat sunnah.

Lalu, mengapa sikap, tingkah laku serta tutur kata kita masih mencerminkan sikap kurang/tidak shaleh, entah shaleh ritual ataupun sosial? Bukankah lucu bila kita berdoa agar menjadi orang shaleh tapi perilaku sehari-hari tidak mencerminkan hal itu? Adakah kita hendak bermain-main dengan doa kita? Adakah kita hendak mengelabui Allah, manis di bibir tapi lain di kenyataan? Semoga keadaan kita seperti itu bukanlah kehendak untuk mempermainkan Allah, tapi semata-mata karena kelemahan kita.

Begitu mulianya orang-orang shaleh, sampai-sampai mereka didoakan saat tahiyyat dalam setiap shalat.


السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

Semoga keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh. (HR Bukhari-Muslim)

Tidakkah kita perhatikan bagaimana doa seluruh umat Islam dicurahkan untuk orang-orang shaleh? Tidakkah kita ingin didoakan oleh segenap kaum muslim di seluruh penjuru dunia? Tidakkah kita berbahagia bila nama kita tertulis di jajaran orang-orang yang dimohonkan keselamatan oleh setiap mushalliy (orang yang shalat)?

Sebagai penutup, mari bersama-sama bermunajat kepada Allah:


اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ

Ya Allah jadikanlah hamba termasuk golongan orang yang suka bertaubat dan bersuci serta golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh, amin.

Read more...

06 September 2010

Apakah kita terjangkit penyakit sombong? (Sambungan)

http://achmadfaisol.blogspot.com

‘Ifrit berhasil menggoda Barshisha. Barshisha tak lagi malu untuk menatap wajah ayu sang putri. Dia begitu mengagumi lukisan indah di depan matanya. Tatapan mata pun beradu. Mata memang bisa menyampaikan beribu-ribu pesan. Ia bisa memutuskan, bisa pula menyatukan. Ia bisa menebar janji maupun ancaman. Ia bisa mengusir atau menerima pertemanan. Ia bisa memerintah, dan ia pun bisa melarang. Ia bisa menebar tawa maupun derita. Ia memberi jawaban di satu saat, sedang di saat lain ia mengajukan pertanyaan. Ia bisa menolak maupun memberi. Dan, ia masih bisa banyak lagi.

Bagi Barshisha, mata sang putri bagai magnet yang menarik-narik jantungnya. Jantung yang memang tugasnya untuk berdetak, ternyata berdegup dengan sangat kencang setiap kali berdekatan dengan sang putri. Darah berdesir dibuatnya. Hati pun berguncang seolah diterjang angin daya. Lama-kelamaan, terjadilah apa yang sudah terjadi. Sang putri hamil tanpa ikatan nikah yang suci. Na‘ûdzubillâh min dzâlik.
Ia yang suka menuruti nafsu birahi
Janganlah kaudekati
Karna kala bencana terjadi
Tak ada yang menolong menghampiri
Jangan kaudekatkan kayu bakar
Pada api yang berkobar-kobar
Jika nekat kaulakukan, apalagi dengan sadar
Asap kan mengepul, udara kan terbakar
(gubahan Ibnu Hazm al-Andalusi)

Ibarat pemanah ulung, panah kedua ‘Ifrit tepat pada sasaran. Umpama mahasiswa, dia lulus ujian tahap kedua dengan predikat jayyid jiddan (sangat baik) bahkan mumtâz atau cumlaude. Dengan menjelma menjadi manusia, ‘Ifrit mendatangi Barshisha, lalu bertanya dengan nada penuh tuduhan dan ancaman.

“Wahai Barshisha, apa yang telah engkau lakukan?” tanya ‘Ifrit ketus.

“A..aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Barshisha gugup. Dia kaget sekali mendengar pertanyaan yang terasa aneh namun penuh tuduhan tersebut.

“Alaaaahhh… Kamu jangan berlagak tidak tahu!”

“Be..bee..betul. Aku tidak tahu apa maksudmu.”

“Aku sudah tahu semuanya!”

Mendengar kalimat itu terucap, jantung Barshisha berdebar keras. Dalam hatinya, dia kuatir jika ‘Ifrit benar-benar mengetahui perbuatan terkutuk yang telah ia lakukan. Barshisha diam tak menjawab.

“Tugasmu kan menyembuhkan sang putri. Kenapa sekarang engkau tambah lagi penderitaanya? Mengapa kau menghamilinya? Apa kamu tidak tahu bahwa kejadian ini akan membuat raja murka?” tanya ‘Ifrit bertubi-tubi. Namun, itu bukanlah pertanyaan yang butuh jawaban. Jawaban pertanyaan itu sudah tersurat dengan jelas.

Laksana lari estafet, pertanyaan demi pertanyaan berlari sambung-menyambung dari bibir ‘Ifrit. Ibarat anak panah, busur telah melepaskan sekian banyak anak panah yang melesat cepat mengenai sasaran dengan tepat. Barshisha diam seribu bahasa. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tubuhnya gemetar mendengar rentetan pertanyaan tanpa ada yang sanggup ia jawab. Kalimat demi kalimat ia rasakan bagai peluru diberondongkan dari senapan AK-47 ke arah tubuhnya. Peluh dingin membasahi wajahnya. Badannya pun menjadi lemas seketika. ‘Ifrit memang agitator ulung.

Melihat kondisi psikologis musuh jatuh serendah-rendahnya, ‘Ifrit pun berhasil memenangkan psy war (perang urat saraf) antara dia dan Barshisha. ‘Ifrit seolah sudah mencuci bersih otak Barshisha.

“Jika engkau tidak ingin dihukum gantung oleh raja, bunuh saja putri itu. Lalu kuburlah ia di samping tempat ibadahmu. Jika nanti semua orang bertanya, jawablah bahwa sang putri meninggal dengan tenang karena kehendak Allah. Niscaya engkau akan selamat dari tiang gantungan,” kata ‘Ifrit dengan suara begitu meyakinkan, laksana seorang konsultan ternama seantero jagad.

Seperti robot yang tidak menggunakan artificial intelligence (kecerdasan buatan), Barshisha melaksanakan semua yang disarankan ‘Ifrit. Baginya, itulah nasihat terbijak yang ia dengar kala selimut kegelapan membungkus erat pikirannya.

Hari berikutnya, datanglah utusan kerajaan untuk menengok kondisi sang putri. Dengan sikap setenang mungkin, Barshisha menjawab bahwa sang putri telah meninggal sesuai takdir Allah. Hanya kepasrahan yang bisa dilakukan oleh rombongan dari istana. Mereka pamit pulang hendak mengabarkan berita duka kepada keluarga kerajaan.

Di tengah jalan, ‘Ifrit mencegat mereka. Mereka diberi tahu bahwa Barshisha telah membuat kebohongan besar. ‘Ifrit menceritakan detail kejadiannya, dan yang pasti dia tidak bercerita tentang ide-idenya. Semua tuduhan mengarah ke Barshisha. Para utusan kerajaan pun bermuram durja. Mereka marah bukan kepalang. Diputuskan sebagian pasukan kembali ke rumah Barshisha dan sebagian lagi menjemput keluarga istana.

Setelah raja dan semua pengawal kerajaan tiba di rumah Barshisha, kuburan sang putri dibongkar. Tabib istana melakukan pengecekan mayat (semacam otopsi di dunia kedokteran modern). Setelah beberapa saat, sang tabib berhasil mengungkap kedustaan Barshisha. Barshisha akhirnya dibawa ke istana untuk diadili.


*******#######*******

Seperti peribahasa “Kotor dicuci, berabu dijentik”, perbuatan jahat harus diberi hukuman setimpal. Proses pengadilan pun digelar. Barshisha duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Ia bukanlah pembohong ulung, sehingga semua argumentasinya bisa dipatahkan dengan mudah, ibarat ranting pohon yang patah terinjak kaki anak kecil. Dengan dakwaan primer pembunuhan berencana, juga dikenai dakwaan subsider—tentang pembunuhan yang disertai perbuatan untuk mempersiapkan dan mempermudah pelaksanaan—Barshisha akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung.

Disaksikan oleh rakyat kerajaan, di atas panggung tempat ditancapkannya tiang gantungan, Barshisha tampak lemah tak berdaya. Wajah yang biasanya dihiasi dengan senyum ramah, kini kusut bagaikan benang ruwet. Pikirannya begitu kalut. Sesaat sebelum prosesi hukuman gantung dimulai, ‘Ifrit mendekati Barshisha. Ia berkata,

“Hai Barshisha, aku penasihat raja. Aku bisa menyelamatkanmu dari tiang gantungan ini. Tapi ada syaratnya. Kamu harus bersujud kepadaku sebagaimana kamu sujud kepada Allah.”

”Iya, iya... Aku mau. Aku tidak ingin mati sekarang. Namun, dengan kondisiku yang terikat dengan leher terlilit tali seperti ini, bagaimana aku bisa bersujud kepadamu?,” ujar Barshisha segera. Entah apa yang ada di benaknya, ternyata ia mengiyakan permintaan ‘Ifrit.

Bibir ‘Ifrit menyungging sebuah senyum kemenangan. Ia melanjutkan sarannya,

“Baiklah. Mengingat kondisimu, kamu cukup memberi isyarat dengan menganggukkan kepala. Itu sudah membuktikan bahwa kamu menyembah aku.”

Barshisha memang sudah kehilangan akal sehatnya. Ia menganggukkan kepala sebagai isyarat sujud kepada ‘Ifrit. Sudah sepatutnya bagi setan, ‘Ifrit pun ingkar janji. Hukuman gantung dilaksanakan. Barshisha mati dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Peperangan telah usai, ‘Ifrit memenangkannya secara mutlak.

Dengan bibir menyeringai bak harimau menunjukkan kekuasaannya, ‘Ifrit berkata, “Sekarang aku sudah bebas. Aku tidak ada urusan lagi denganmu.”

(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu,” maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”
(QS al-Hasyr [59] : 16)

Sesungguhnya berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, 

“Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS Ibrahim [14] : 22)

Wallâhu a‘lamu hâkadzâ. Na‘ûdzu billâhi min ghurûri asy-syaithâni wa makrihi.

Read more...

03 September 2010

Apakah kita terjangkit penyakit sombong?

 dari http://achmadfaisol.blogspot.com

Sudah sering diceritakan kepada kita bahwa banyak orang yang pada awalnya shaleh, namun dalam perjalanan waktu bertolak belakang keadaannya, bahkan meninggal dalam keadaan sû’ul khâtimah. Na‘ûdzubillâh. Berikut ini salah satu cerita yang barangkali sudah tidak kita acuhkan. Cerita ini penulis sadur dari kitab “Al-Bayân al-Mushaffâ fî Washiyyatil Mushthafâ”. Inti cerita tetap sama meskipun penulis menyajikannya dengan cara berbeda. Hal ini untuk memberikan kesan yang kuat dalam diri kita sehingga bisa kita ambil pelajaran darinya.

Alkisah, pada zaman Bani Israil terdapat seorang ahli ibadah nan alim bernama Barshisha. Karena ia begitu khusyu‘ dalam beribadah, maka Allah mengaruniakan kelebihan (karâmah) padanya. Salah satunya bisa mengobati berbagai penyakit.

Sebagaimana sumpahnya untuk menggelincirkan semua anak cucu Nabi Adam as., Iblis tidak suka dengan keadaan Barshisha. Iblis berniat mengajaknya bersama-sama di neraka. Diadakanlah rapat kerja internasional dengan mengundang semua setan pengikutnya. Iblis berkata,

“Wahai rakyatku sekalian. Ini ada orang yang begitu taat beribadah, namanya Barshisha. Karena ketekunannya dalam beribadah, dia dianugerahi berbagai kelebihan oleh Allah. Salah satunya bisa menyembuhkan orang sakit. Siapa di antara kalian yang sanggup menggoda dan menyesatkan dia?”

Suasana menjadi hening. Beberapa setan sibuk bercakap-cakap pelan untuk membicarakan apakah mereka mampu atau tidak. Tak lama kemudian, salah satu setan berdiri dan mengangkat tangannya sambil berkata,

“Tuanku Iblis yang hamba junjung tinggi.”

“Ya, ‘Ifrit. Ada apa?” sahut Iblis.

“Hamba sanggup menjadikan Barshisha sebagai sahabat kita selama-lamanya di neraka nanti.”

“Oh, begitu. Kalau kamu gagal, apa konsekuensinya?”

“Jika hamba gagal, hamba rela dikucilkan dari pergaulan para setan yang terhormat.”

“Hemmm… Baiklah, ‘Ifrit,” ucap Iblis.

“Aku tunjuk engkau untuk mengemban misi ini. Terserah apa pun caramu, aku hanya mau tahu engkau harus berhasil,” terang Iblis tentang keinginannya.

Barshisha tinggal di sebuah daerah yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang hidup bahagia bersama sang permaisuri. Mereka mempunyai seorang putri berparas cantik jelita, bak purnama di kala malam, sebening embun pagi membasahi daun-daun.

Suatu hari, pada saat sang putri sedang bercengkrama dan bercanda tawa dengan kedua orang tua beserta sanak-famili yang lain, ‘Ifrit membuatnya jadi gila seketika. Keluarga, pembesar dan semua pengawal istana kalang-kabut dibuatnya. Para tabib didatangkan, namun tak satu pun bisa menyembuhkan buah hati sang ratu.

Resah, gelisah dan awan kesedihan memayungi kerajaan yang semula secerah pagi di musim panas. Langit seakan mendung sembab. Ceracau burung yang biasanya hinggap di atas dahan meriuhkan suasana, seolah hilang dicuri angin. Bagi permaisuri, hari demi hari dilalui dengan air mata jatuh berkejar-kejaran membasahi pakaian sutra nan lembut, seperti gerimis di musim hujan. Sampai beberapa hari, keadaan sang putri tak kunjung membaik.

*******#######*******

Suasana kerajaan terlihat lengang dalam kesibukan. Sinar sang surya di pagi hari yang begitu indah, terasa redup. Warna merah yang terpancar dari rona mentari yang tampak elok bestari, tak kuasa mengusir kegalauan. Pagi itu semua orang tampak pucat pasi, seperti cahaya rembulan terpantul dari air di parit yang kotor. Mereka hanya bercakap-cakap seperlunya saja. Angin berhembus membawa duka. Udara mengalir laksana tebasan pedang samurai yang tersusun dari partikel-partikel udara, menyayat semua orang—terutama sang raja dan permaisuri. Hampa, perasaan itu pun menghampiri mereka. Kondisi sebaliknya terjadi pada ‘Ifrit. Baginya, alam semesta seolah bersatu padu mewujudkan keinginannya. Dia tertawa kegirangan, terbahak-bahak, seolah hendak membelah angkasa, tanpa sedikit pun berbelas kasih. Dia tersenyum di atas penderitaan seluruh isi istana.

Merasa panah pertamanya berhasil, ‘Ifrit lalu mengubah wujudnya seperti manusia untuk menemui sang raja di istana yang sedang dipenuhi hawa kegalauan. Di depan sang raja ‘Ifrit mengucapkan salam,

“Hormat hamba untuk Baginda Raja dan Permaisuri.”

“Baiklah, aku terima hormatmu. Siapakah kamu? Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya Raja.

“Hamba rakyat Baginda. Nama hamba ‘Ifrit. Maksud kedatangan hamba, hamba ingin membantu menyembuhkan sang putri.”

“Apa kamu sanggup, hai ‘Ifrit? Sudah banyak tabib didatangkan, namun tak satu pun berhasil menyembuhkan putriku.”

“Beribu ampun hamba haturkan. Bukan hamba yang akan menyembuhkan sang putri. Hamba ingin membantu saja.”

“Apa maksudmu...?” tanya sang raja heran.

“Baginda Raja yang hamba junjung tinggi. Bila Baginda Raja dan Permaisuri ingin kesembuhan sang putri, bawalah ke seseorang yang sangat alim dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Orang itu bernama Barshisha.”

Segera setelah mendapatkan informasi yang cukup, berangkatlah rombongan kerajaan ke rumah Barshisha. Setelah diobati olehnya, ternyata sang putri pun sembuh. Semua orang bergembira ria. Selanjutnya mereka berkemas-kemas, kemudian kembali ke istana.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Ketika sampai di istana, penyakit sang putri kambuh lagi. Sungguh kebahagiaan yang begitu cepat, secepat meluncurnya roket ke angkasa. Berlagak seperti seorang penasihat ulung, ‘Ifrit menyampaikan saran,

“Beribu maaf hamba mohonkan kalau apa yang akan hamba utarakan ini dianggap sebagai sebuah kelancangan.”

“Tidak apa-apa ‘Ifrit, lanjutkan saja,” ucap Baginda.

“Bila Tuanku berkehendak agar sang putri sembuh total, biarkanlah sang putri menginap di kediaman Barshisha. Dengan demikian, perawatan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih intensif. Mohon Paduka berkenan memaafkan kebodohan hamba.”

Mendengar usul yang masuk akal, raja pun menyetujuinya. Sang putri dibawa lagi ke rumah Barshisha. Mula-mula Barshisha berkeberatan jika sang putri rawat inap. Dia seorang yang selalu menjaga diri—seorang ahli ibadah. Namun, luluh juga pendiriannya setelah didesak dan dipaksa oleh raja. Selama beberapa hari merawat sang putri, Barshisha benar-benar menjaga pandangan matanya. Bila tidak sangat penting, dia tetap menundukkan pandangannya karena ia sadar bahwa putri itu bukan mahramnya.

Bukanlah setan bila kekurangan cara. Setan akan menggoda kita dari semua arah—depan, belakang, samping kiri, kanan, atas dan bawah. Setan juga mengalir bersama aliran darah dan menyatu dalam setiap hembusan nafas. Ia bisa masuk meskipun melalui celah terkecil. Ia selalu menelusup pada gelombang hasrat. Ia tetap akan menggoda dan merayu sampai ia tertawa lepas merayakan kemenangan atas kenistaan manusia. Setan dan syahwat memang tak pandang usia. Sejak manusia pertama sampai akhir zaman kelak, yang bernama setan dan syahwat takkan pernah jera. Hanya perwujudannya saja yang berbeda. Ada yang secara halus alias tak kasat mata, ada juga yang secara nyata—manusia menyembah syahwatnya.

bersambung....:}

Read more...

02 September 2010

Benarkah Kita Hamba Allah? (Allah terhadap Kita)


dari http://achmadfaisol.blogspot.com

Di tulisan sebelumnya, “Benarkah Kita Hamba Allah? (1 of 2)” sudah kita bahas permasalahan sehari-hari yang kita jumpai dan alami untuk mengetes diri kita.

Sekarang, marilah kita tanya diri sendiri apakah kita adalah hamba Allah? Kita memang berhak mengatakan bahwa kita adalah hamba Allah. Pertanyaan yang harus kita ajukan lagi adalah, “Apakah Allah juga memanggil kita dengan panggilan عبادي (‘Ibâdiy/hamba-Ku)?” Panggilan ‘Ibâdiy ditujukan untuk hamba-hamba yang taat atau bila penuh dosa, menyadari kesalahan untuk kembali ke haribaan-Nya.

Contoh sederhana, kita bisa saja mengatakan bahwa kita adalah keluarga Presiden. Namun, apakah Presiden mengakui bahwa kita adalah keluarganya? Seorang penyair mengatakan:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِِلَيْلَى * وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لََهُمْ بِذَاكَا

Semua orang mengaku punya hubungan dengan si jelita Laila
Namun Laila tidak mengakui ucapan mereka

Lalu, siapakah hamba Allah itu?

Hamba Allah adalah hamba yang senantiasa mengabdikan diri pada Tuannya.

Hamba Allah adalah hamba yang selalu merasakan kehadiran Penciptanya di mana pun dia berada.

Hamba Allah adalah hamba yang dengan setia melayani Pemiliknya dengan hati yang ridha.

Bagi hamba Allah, apa pun yang terjadi, hakikatnya adalah antara dirinya dengan Sang Empunya. Apa saja perlakuan orang lain, bagi hamba Allah, itu adalah pemberian yang indah dari Sang Penguasa. Dengan demikian tidak perlu sakit hati, marah atau dendam pada sesama, karena bagi dia semua itu antara dia dengan Allah. Orang lain dan semua yang ada hanyalah hiasan semata, untuk menguji apakah dirinya tetap berorientasi pada tujuannya atau tidak.

Bagi hamba Allah, hidup ini ibarat sebuah perjalanan untuk menuju tujuan yang mulia, pertemuan yang indah dengan Sang Pemilik Kehidupan. Apa pun yang ditemui di tengah jalan adalah kembang perjalanan, keindahan sementara, fatamorgana dan maya—bukanlah hakikat perjalanan itu sendiri.

Bagi hamba Allah, cakrawala boleh melengkung ke bawah, tapi bibir hamba Allah akan tetap melengkung ke atas, menyungging sebuah senyuman :-).

Bagi hamba Allah, hanya kepada-Nya ia menyembah dan hanya kepada-Nyalah memohon pertolongan.
إِيَّاكَ نَعْـبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْـتَعِيْنُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS al-Fâtihah [1] : 5)


Di ayat tersebut, lafazh iyyâka (hanya kepada Engkau) sebagai kata yang mengandung makna penentu, bukan lafazh na‘budu (kami menyembah pada-Mu).

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah perjanjian sakral yang diikrarkan oleh seorang muslim di setiap rakaat shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Dengannya, jiwa selalu terpaut dengan perjanjian agung itu. Demi janji itu manusia diciptakan, para rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, surga dan neraka diciptakan, jalan menuju surga (ash-shirâth) dibentangkan, neraca amal perbuatan ditegakkan, para makhluk dibangkitkan dari kubur, amal perbuatan diperhitungkan, catatan amal diperlihatkan dan para saksi dihadirkan.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kebahagiaan yang kekal dan keselamatan abadi. Dengannya, kebenaran dan kemenangan terwujud, segala persoalan menjadi mudah, dan kejahatan terhindarkan. Tiada seorang pun mendapat ridha, rahmat, pengampunan, pertolongan, hidayah dan kekuatan dari Allah kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”. Anugerah tak dapat diraih, nestapa tak dapat ditolak, kerusakan tak dapat dihindarkan, bencana dan fitnah tak dapat dicegah, kecuali dengan “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”.

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan adalah kalimat yang akan menjadi pemelihara orang yang merealisasikan makna yang terkandung di dalamnya dari ketergelinciran, kebingungan, kesia-siaan beragama, kehampaan pemikiran, kesesatan pengetahuan, kedunguan moral dan kemerosotan pribadi.

Dalam kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în” tersimpan pemeliharaan dan pertolongan Ilahi, serta perwalian iman dan berkah Al-Qur’an. Berkat kalimat ini, seorang muslim menjadi orang yang berpribadi kuat, berhati terang, berjiwa muthmainnah, berdada lapang dan berpikiran cerah. Ini semua karena ia telah menjalin hubungan langsung dengan Allah, masuk ke dalam nasab ubudiyah, mengenakan mahkota penghambaan kepada Yang Maha Esa, tempat bergantung semua makhluk.

Dengan kalimat “iyyâka na‘budu wa-iyyâka nasta‘în”, jiwa manusia dibersihkan dari kehampaan, hati disucikan dari kemunafikan, amal perbuatan dari riya’, lisan dari ucapan dusta, mata dari pemandangan yang dilarang, dan dari tindakan sewenang-wenang

Bila kita mengaku beriman dan ingin diakui sebagai hamba oleh Allah, maka kita harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan.
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَنْ يُتْرَكُـۤوْا أَنْ يَقُوْلُوْا ءَامَـنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَـنُوْنَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS al-‘Ankabût [29] : 2)

Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS al-‘Ankabût [29] : 3)

Siapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-‘Ankabût [29] : 5)

Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
إِذَا سَـبَقَتْ ِللْعَبْدِ مِنَ اللهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا ِبعَمَلِهِ ابْتَلاَهُ اللهُ فِيْ جَسَدِهِ أَوْ فِيْ مَالِهِ أَوْ فِيْ وَلَدِهِ، ثُمَّ صَبَرَهُ حَتَّى يُبَلِّغُهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِيْ سَـبَقَتْ لَهُ مِنْهُ

Jika telah ditetapkan bagi seorang hamba suatu kedudukan yang tidak dapat dicapai dengan amalnya, maka Allah menimpakan cobaan terhadap diri, kekayaan atau anaknya, kemudian Dia menjadikannya bersabar dalam menghadapinya sehingga dia pun mencapai kedudukan yang telah ditetapkan kepadanya. (HR Ahmad)

Ada banyak ragam ujian yang bisa diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya. Berikut ini penulis ilustrasikan salah satu jenis ujian sebagai gambaran. Intinya, untuk mengetahui apakah kita lulus dalam ujian itu atau tidak, apakah kita benar-benar menghamba kepada Beliau Yang Memiliki kita atau tidak, apakah dalam hidup ini yang ada hanya kita dengan Allah atau masih ada yang lain, yang tersangkut di dalam hati.

Namun, kita tidak perlu bersedih hati. Seumpama ujian, ada yang lulus dengan nilai cukup, baik atau sempurna. Memang, kesempurnaan hanyalah milik Allah, namun nilai sempurna yang dimaksud di sini adalah nilai 100 untuk sebuah ujian. Yang belum lulus pun, ada bertingkat-tingkat. Ibarat sebuah penilaian, ada yang mendapat A (sempurna), B (baik), C (cukup), D (kurang), E (gagal), dan F (tidak ikut, mangkir atau menghindari ujian).

Akan datang sebuah masalah sebagai ujian bagi kita. Akan terlihat apakah kita menempuh cara-cara yang diridhai-Nya atau tidak. Jika bisa menyelesaikan masalah pertama ini karena ilmu dan pengalaman kita, maka akan datang permasalahan kedua. Di ujian kedua, ilmu dan pengalaman kita tidak akan berarti, tidak bisa diandalkan untuk mengatasinya. Mungkin kita bisa lolos dari ujian kali ini dengan harta kita. Dengan harta kita, kita bisa membeli dan membelanjakannya untuk menyelesaikan tingkat dua dari masalah yang kita hadapi.

Karena kita sudah naik tingkat, maka akan ada ujian ketiga. Di kasus yang menimpa kali ini, ilmu, pengalaman dan harta kita tidak akan banyak membantu. Semuanya terlihat rumit, serumit kalau kita sedang terjebak kemacetan lalu lintas. Kondisi jiwa terasa berat, seperti puisi Ibnu Hazm :
Ketika nestapa melanda jiwa
Api membakar hati, air mata meleleh di pipi
Kala lara menderita hati, menyiksa jiwa
Perasaan mungkin bisa sembunyi
Tapi air mata kan mengalir lama
Derasnya aliran air matamu adalah tanda
Kesedihan yang kau rasakan betapa beratnya

Di sini, kita diuji apakah kita tetap menempuh jalan yang baik atau tidak. Karena usaha keras kita, mungkin ada teman lama, sahabat, saudara, kerabat jauh, relasi, konsultan atau jaringan kita yang lain yang membantu menyelesaikannya. Dan, selesailah ujian tahap ketiga ini.

Kita sudah naik kelas. Di tahap ini, kita akan menerima persoalan yang jauh di atas sebelumnya. Ilmu, pengalaman, harta, teman, sahabat, saudara, relasi, konsultan dan semuanya tak banyak artinya. Kita seolah menemui jalan yang benar-benar buntu, tak terlihat oleh kita sedikit pun celah untuk dapat melaluinya. Semua usaha sepertinya sudah kita lakukan, semua doa rasanya sudah kita panjatkan. Namun hasilnya, tak seperti yang kita harapkan. Pada kondisi inilah kita sungguh diuji, apakah kita hamba Allah atau bukan.

Kalau kita memang hamba Allah, kita akan bersimpuh di hadapan-Nya, mengakui kehambaan kita. Kita nyatakan pada-Nya bahwa kita adalah milik-Nya. Tak satu pun ilmu, harta atau keluarga adalah milik kita. Bahkan nyawa kita pun milik-Nya. Semua milik-Nya semata. Tiada daya dan upaya selain dari Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).

Kita adalah orang fakir di hadapan-Nya, tak memiliki apa-apa selain pemberian-Nya. Kita akan ridha dan bahagia terhadap apa pun yang diberikan-Nya pada kita. Tak ada lagi yang membuat hati kita sedih, karena hati kita sudah terisi akan cinta kepada-Nya. Cinta yang agung, tulus, dan indah. Apa pun yang ditakdirkan untuk kita, itu adalah hadiah dari Dzat yang kita cintai sepenuh hati. Tak akan ada lagi penderitaan yang bisa membuat kita galau dan resah.

Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat kepada kita, “Nyatakan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, pasti Allah akan memberimu pertolongan dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya. Akuilah kehinaanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah semua kelemahanmu di hadapan Allah, pasti Allah akan menolongmu dengan keagungan, kemampuan dan kekuatan-Nya.”

Melanjutkan nasihatnya, Ibnu Athaillah berkata, “Tidak ada yang dapat menyegerakan suatu permohonan kecuali keadaan yang amat sulit. Tiada satu pun yang dapat mempercepat datangnya karunia dari Allah kecuali dalam keadaan merendahkan diri dan dalam keadaan fakir.”
وَإِلىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS al-Insyirâh [94] : 8)

Harapan-harapan besar tiada dimiliki kecuali oleh Allah semata. Di tangan-Nyalah terletak kunci segala persoalan. Beliau-lah yang berhak untuk dipinta, diharap dan dituju. Hanya kepada-Nya kita persembahkan asa, harapan dan rasa takut. Hanya kepada-Nya kita mengangkat kedua tangan, berdoa dengan sepenuh hati, penuh iba dan tetesan air mata.

Kalau itu yang kita lakukan—kita tetap pada kehambaan kita—maka akan ada jalan keluar bagi tiap kesulitan. Bukankah sudah ada dua kali jaminan, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan? Itu berarti, satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan, dan itu juga berarti bahwa bersama satu kesulitan terdapat dua jalan kemudahan yang berbeda.
Ketika malam sudah semakin kelam
Itu pertanda sang fajar akan merekah
Tatkala tali-temali yang mengikat tubuh kita semakin meregang kencang
Itu artinya tali-tali itu akan segera putus
Saat awan sudah semakin gelap
Itu tandanya hujan akan turun dan pelangi akan menghiasi angkasa
(karya ‘Aidh al-Qarni)

Abu Ali ibn Asy-Syibl berpesan, “Dengan menjaga nafsu, akan ada di dalamnya seperti bara api yang tetap dinyalakan di dalam mangkuk. Maka jangan kau padamkan dia dengan putus asa, dan jangan pula kau ulur dengan angan yang memanjang. Berjanjilah kepadanya bahwa dalam kesulitan itu ada kemudahan, dan ingatkan pula bahwa kesulitan itu berada dalam kemudahan. Dihitung kebaikannya ini dan itu, dan dengan menggabungkan semuanya akan berguna sebagai obat mujarab.”

Ketika Nabi Musa as. beserta kaumnya sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukan; di depan terhampar lautan luas membentang siap menenggelamkan, di belakang ada tentara Fir‘aun mengejar menghunus senjata siap membunuh—tatkala jalan sudah buntu—turunlah pertolongan Allah, “Musa, pukullah lautan itu!” Laut pun terbelah, tersibak bak sebuah buku raksasa yang sedang terbuka. Nabi Musa dan pengikutnya pun selamat atas pertolongan Allah.

Maka Fir‘aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di waktu matahari terbit.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Sesungguhnya kita telah benar-benar akan tersusul.”

Musa menjawab, “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.

Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.

Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.

Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.

Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
(QS asy-Syu‘arâ’ [26] : 60-68)

Mengakui dengan tulus kekuasaan Allah dan pertolongan-Nya kepada para hamba-Nya, Ibnu Hazm al-Andalusi mengungkapkan :
Duhai, semua itu kembali kepada-Nya
Semua adalah milik-Nya dan tunduk kepada-Nya
Dia tunjukkan bukti-bukti kekuasaan-Nya
Lewat para nabi dan rasul utusan-Nya
Lihatlah kekuasaan-kekuasaan-Nya

Di tangan Nabi Shaleh yang mulia
Dari batu muncul seekor unta betina
Mereka lihat wujudnya dan dengar suaranya
Di tangan Nabi Musa yang mulia
Laut terbelah dengan sangat mudahnya
Menjadi jalan keselamatan menuju seberang sana

Ibrahim kekasih-Nya selamat dari api yang membara
Api yang merah panas menyala, dirasanya dingin saja
Nabi Nuh dan seluruh pengikut setianya
Selamat dari amukan bandang dan topan luar biasa
Kepada Sulaiman, Dia tundukkan jin dan manusia
Semua orang dan binatang tunduk dalam kerajaannya
Semua bahasa ia bisa, bahasa burung pun dikuasainya

Pada saat orang-orang yang beriman dan rasul-Nya sudah tidak mengerti apa yang harus diperbuat; harta, saudara, ilmu dan pengalaman mereka sudah tidak bisa diandalkan; mereka merintih, meratap, menangis dan berdoa, “matâ nashrullâh (Bilakah datangnya pertolongan Allah)?” Saat itulah jawaban disampaikan, alâ inna nashrallâhi qarîb (Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat).”

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, 
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS al-Baqarah [2] : 214)

Bagi orang-orang yang benar-benar mengakui kehambaannya di sisi Allah, tidak akan ada ketakukan dan kesedihan, walaupun maut di depan mata. Malaikat akan menghibur mereka, surga pun sudah disiapkan, para bidadari sedang berbaris bersiap menyambut kedatangan hamba Allah dengan senyum indahnya, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat [41] : 30)

Mungkin kita akan bertanya, “Logikanya bagaimana? Kok bisa orang yang mengakui kehambaannya kepada Allah tidak akan merasakan kesedihan walaupun penderitaan sedang dialaminya? Ah, itu semua kan dogma dan sepertinya tidak masuk akal!”


Baiklah, mari kita bicara logika, karena akal memang diciptakan untuk menguatkan iman agar tertanam kuat di dalam hati kita—seperti pondasi rumah yang sangat kokoh.

Jika seseorang sudah mengakui bahwa dia adalah hamba dan Allah adalah Tuhannya, maka dia akan sadar bahwa dirinya fakir (gelandangan), tidak punya apa-apa, sebagaimana keadaannya waktu bayi.

Bagi seorang gelandangan, tidak ada yang disebut kehilangan, karena memang dia tidak memiliki apa pun.

Bagi seorang gelandangan, tidaklah merisaukan hati dan membebani pikiran, meskipun harus melewati panasnya jalan, gunungan sampah dan lautan lumpur.

Bagi seorang gelandangan, kemiskinan adalah baju kehidupan, sedangkan kekurangan adalah selimut dunia.

Bagi seorang gelandangan, tidak disebut penderitaan walaupun harus memungut sisa makanan yang dibuang di pinggir jalan.

Bagi seorang gelandangan, kelaparan adalah pembersihan tubuh dari sumber penyakit, dan kehausan adalah rasa yang disyaratkan untuk menikmati segarnya setetes embun dan seteguk air.

Bagi seorang gelandangan, itu semua sudah seperti udara yang dia hirup, sudah kebiasaan sehari-hari.

Istilah ilmiah sekarang, EQ (Emotional Quotient) atau disebut juga EI (Emotional Intelligence) dan SQ (Spiritual Quotient) seorang hamba Allah sudah mencapai tingkat tertinggi (mumpuni).

Kebanggan menjadi hamba Allah diungkapkan oleh seorang penyair dalam bait syairnya :
Yang menjadi kemuliaan dan kebanggaanku
Dan yang membuat kakiku menginjak bintang kejora
Adalah sebab aku termasuk dalam panggilan-Mu, “Wahai Hamba-Ku”
Dan Engkau menjadikan Muhammad sebagai Nabiku

Read more...

Benarkah Kita Hamba Allah? (Kita Terhadap Allah)

 dari  http://achmadfaisol.blogspot.com

Dalam banyak kesempatan, kita menyatakan diri sebagai hamba Allah. Dulu, jika orang mau menyumbang tapi tak ingin diketahui namanya, ditulis dengan NN (No Name). Saat ini, kita menggantinya dengan “hamba Allah”. Tujuan awalnya memang untuk menghindari riya’.

Tapi, perkataan seperti itu bisa membuat diri kita pamer kepada orang lain bahwa kita ini orang shaleh. Kalau kita menyumbang ke suatu badan amal, yayasan atau yang lain, kita bisa tergoda untuk mengatakan dengan sefasih dan semantap mungkin, “Nama saya tidak perlu ditulis. Tulis saja dari hamba Allah.”

Berdasarkan ilmu tajwid, lafazh “Allah” dibaca tafkhîm (tebal) karena lam Jalâlah didahului fathah. Kalau memang itu yang kita lakukan—kita mengucapkan lafazh “Allah” semantap mungkin supaya terlihat seperti orang alim—apakah benar kita ini hamba-Nya? Marilah kita lihat apakah kita memang hamba Allah atau bukan.


Katakanlah kita mempunyai seorang tetangga sekaligus teman, yang dari segi harta dan pekerjaan tidak seberuntung kita. Karena dia teman kita, jika dia minta pertolongan, seketika itu juga kita membantunya. Bahkan kadang kala kita menawarkan diri untuk sedikit meringankan tugas dia, jika dia terlihat tidak bisa menyelesaikannya. Semua itu kita lakukan tanpa pamrih, kita benar-benar mengikhlaskan semuanya.


Dua tahun berlalu dan selama itu pula kita selalu melakukan yang dimintanya. Suatu hari, kendaraan kita sedang bermasalah. Karena buru-buru ingin ke kantor mengingat jam sudah menunjukkan pukul 07.30, kita minta diantarkan dia yang kebetulan sedang mendapat jadwal shift sore (15.00–23.00) di pabriknya. Kala itu dia sedang santai minum kopi hangat sambil membaca koran dan menikmati pisang goreng.


Ternyata, dia tidak mau mengantarkan kita. Dia malah berkata, “Kamu ini mengganggu orang saja. Tidak lihat apa, aku sedang menikmati sejuknya pagi. Minggu ini kan aku shift sore, jadi aku masih ingin istirahat. Kamu kan punya uang, naik taxi saja!”


Nah, apakah di dalam hati, kita tidak akan mengingat-ingat pertolongan kita padanya selama ini? Ataukah, kita berkata pada diri sendiri, “Dasar orang tidak tahu membalas budi! Awas, ya… Jangan harap aku akan menolongmu lagi!”


Jika kita masih mengingat kebaikan kita padanya, atau meminta balas budi darinya, apakah pantas kalau kita menyebut diri sebagai hamba Allah? Sedangkan pengertian hamba adalah orang yang melakukan sesuatu semata-mata untuk tuannya, tak ada urusan dengan orang lain.


Penulis pernah mendengar di sebuah acara radio, ada seseorang mengadukan keadaannya pada nara sumber. Dua tahun sebelumnya, ada pegawai baru di departemennya. Karena ingin berbuat baik, maka pegawai baru ini dibimbing, diberi arahan dan selalu dibantu. Memang dasarnya anak cerdas, pegawai baru tersebut naik pangkat dengan cepat. Masalahnya, sekarang ini jadi saingan, bahkan tega menjatuhkan sang mentor (penelpon) yang telah membimbingnya. Pegawai baru itu sekarang jadi musuh si penelpon. Si penelpon merasa sakit hati karena dulu dialah yang menolong. ‘Aidh al-Qarni menggambarkan peristiwa seperti ini dalam bait syairnya :



Tetapi sifat ini kadang kala justru terbalik, sahabat dijadikan musuh!
Aku ajari dia memanah setiap hari
Ketika lengannya menjadi kuat, ia malah memukulku
Betapa banyak aku ajarkan padanya bait-bait syair
Ketika ia mampu membuat syair, ia menyerangku


Nah, kalau kita berada di posisi si penelpon, apakah kita juga sakit hati? Kalau benar kita sakit hati karenanya, berarti kita tidak ikhlas menolongnya. Dalam hati, sebenarnya kita berharap agar suatu saat pegawai baru itu menolong kita. Apakah pantas kalau kita menolong orang lain, lalu kita berharap suatu saat dia juga membantu kita, kemudian dengan keyakinan penuh kita mengatakan bahwa kita hamba Allah?
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).
(QS az-Zumar [39] : 2-3)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.
(QS al-Bayyinah [98] : 5)

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
(QS al-Insân [76] : 9-10)

Rasulullah saw. bersabda :

ثَلاَثٌ لاَيَغُلُّ عَلَيْهِمْ قَلْبُ مُسْلِمٍ : إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ تَعَالَى، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ

Tiga perkara yang tidak bisa dikhianati hati seorang muslim, yaitu keikhlasan amal karena Allah SWT, saling menasihati dalam penguasaan masalah dan tetapnya jamaah umat Islam. (HR Ahmad)

Semua benda berpotensi dapat ternoda oleh benda lainnya. Jika benda itu bersih serta terhindar dari kotoran dan noda, maka disebut dengan khâlish (benda yang bersih) dan pekerjaan untuk membersihkannya disebut ikhlâshan. Bersihnya (khulush) susu dari hewan ternak adalah apabila tidak dicampuri oleh darah, kotoran atau sesuatu yang dapat mencampurinya.

Ikhlas adalah penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. Ikhlas adalah ruh amal, dan amal menunjukkan tegaknya iman.

Syaikh Ibnu Athaillah menuturkan, “Siapa menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu yang lain, atau karena menolak bahaya yang akan menimpa dirinya, maka ia belum menunaikan tugasnya terhadap Allah sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Ada beraneka ragam jenis amal menurut situasi dan kondisi yang masuk ke dalam hati manusia. Kerangkanya adalah perbuatan yang jelas, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.”

Imam Al-Qusyairi menasihatkan, “Ikhlas adalah penunggalan (peng-Esa-an) Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Ketaatan harus dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata, tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna yang lain selain pendekatan diri pada Allah.”

Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan kebenaran (shidiq) dan sabar di dalam ikhlas. Shidiq tidak akan sempurna kecuali dengan ikhlas dan terus-menerus di dalam ikhlas.”

Lebih lanjut, al-Mishri menerangkan, “Ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya—bahkan di kampung akhirat nanti.”

Abu Ya‘qub as-Susi membahas ikhlas lebih dalam lagi. Dia berkata, “Kapan saja seseorang masih memandang ikhlas dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.” Artinya, kita tidak boleh memandang amal kita dengan pandangan apa pun. Seringkali kita berkata, “Saya melakukan ini dengan ikhlas, koq.” Perkataan ini menurut Abu Ya‘qub as-Susi bisa dikategorikan belum ikhlas.

‘Aidh al-Qarni berpesan, “Jangan mengharap terima kasih dari seseorang. Tabiat untuk mengingkari, membangkang dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang lazim menimpa jiwa manusia. Karena itu, Anda tak perlu heran dan resah bila mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah Anda berikan, juga mencampakkan budi baik yang telah Anda tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah Anda persembahkan. Bahkan, tak usah resah bila mereka sampai memusuhi Anda dengan sangat keji dan membenci Anda sampai mendarah daging, dan semua itu mereka lakukan setelah Anda berbuat baik kepada mereka.”

“Anda tidak perlu terkejut manakala menghadiahkan sebatang pena kepada orang bebal, lalu ia memakai pena itu untuk menulis cemoohan kepada Anda. Anda juga tak usah kaget bila orang yang Anda beri tongkat untuk menggiring domba gembalaannya justru memukulkan tongkat itu ke kepala Anda. Jangan pernah resah dan gundah ketika ‘tangan putih’ yang Anda ulurkan dibalas dengan tamparan menyakitkan. Itu semua adalah watak dasar manusia yang selalu mengingkari dan tak pernah bersyukur kepada Penciptanya sendiri Yang Maha Agung nan Mulia. Begitulah, kepada Tuhannya saja mereka berani membangkang dan mengingkari, apalagi kepada saya dan Anda.” Demikianlah kata ‘Aidh al-Qarni melanjutkan nasihatnya.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP